Nyatanya,
menyekat airmata bukanlah hal yang mudah bagi Raisa, gadis berusia 16 tahun
yang baru saja di khianati oleh seseorang yang telah menjadi separuh bagian
dalam hidupnya. Seseorang yang selalu ia banggakan di hadapan teman-temannya.
Sakit. Tentu perasaan itu yang kian menusuk-nusuk hatinya semenjak peristiwa
malam itu.
Tersenyum dalam
tangis. Atau tangis dalam sebuah senyuman. Raisa pun tidak mudah untuk
melakukannya. Gadis mana yang dapat dengan mudah mengukir senyuman indah bila
kebahagiaan pun mulai enggan menyentuh hidupnya yang selalu di guncang masalah.
Tanpa henti. Dan selalu memaksa Raisa untuk menitikan airmatanya, walau ia tak
pernah menginginkannya.
Raisa muak
dengan pertengkaran orangtuanya yang selalu membuat telinganya bagaikan terbakar
oleh ledakan-ledakan di bawah atap rumahnya yang sudah tak lagi hangat ketika
usianya menginjak remaja.
Raisa memutuskan untuk mengambil kunci mobilnya dengan cepat dan lekas pergi untuk mencari udara segar di tengah malam yang sunyi. Mobilnya melaju dengan cepat ketika melintasi hamparan jalan yang sepi. Sulit bagi Raisa untuk melupakan bayang-bayang ibunya dan ayahnya yang selalu saja bertengkar hampir di setiap harinya.
Raisa memutuskan untuk mengambil kunci mobilnya dengan cepat dan lekas pergi untuk mencari udara segar di tengah malam yang sunyi. Mobilnya melaju dengan cepat ketika melintasi hamparan jalan yang sepi. Sulit bagi Raisa untuk melupakan bayang-bayang ibunya dan ayahnya yang selalu saja bertengkar hampir di setiap harinya.
Entah sejak
kapan orangtua Raisa kehilangan rasa cinta diantara mereka. Hanya mengutamakan
keinginan masing-masing yang sudah jelas selalu saja bertabrakan dan sulit
untuk di satukan. Bukankah dulu mereka
selalu sejalan? Lantas mengapa sekarang mereka tidak bisa menjadi seperti
mereka yang dulu?
Nyaris mendekati
kata perceraian. Raisa benar-benar tidak ingin orangtuanya berpisah, tapi,
Raisa juga tidak ingin mendengar kata-kata kasar yang selalu ia dengar ketika
peperangan itu terjadi di dalam rumahnya. Raisa pun nyaris putus asa. Rumah
yang dulu selalu menyelimutinya dengan kehangatan yang mendalam, kini menjadi
rumah yang penuh dengan amarah bahkan airmata. Tidak ada lagi kehangatan itu.
Hampa. Kosong.
***
Raisa
menghentikan mobilnya di sebuah parkiran café di pinggir jalan. Menenangkan hati
dan pikirannya sejenak adalah hal yang sangat ingin Raisa lakukan. Menikmati
segelas hot cappuccino kesukaannya
dan membaca buku adalah salah satu cara Raisa untuk melupakan sebagian beban
yang di letakan di pundaknya.
Dinginnya malam
semakin merasuk ke dalam kulit lembut sang gadis. Raisa pun mengeratkan jaket
yang melindungi tubuhnya sedari tadi untuk menghangatkan tubuhnya yang rapuh.
Sesekali Raisa menyeruput minuman di atas mejanya yang tengah dingin karena
cuaca malam itu.
Sepintas angin
malam menyeretnya kembali pada ingatan yang seharusnya sudah terkubur
dalam-dalam. Masa yang begitu sulit di lupakannya ketika ada pengkhianatan.
Satu-satunya lelaki yang begitu di cintainya kini hadir lagi di depan kedua
matanya. Laki-laki yang dulu menjadi separuh dari diri Raisa, memunculkan
kembali batang hidungnya. Lengkap dengan luka lama yang di bawanya, dan
senyuman indah yang selalu membuat Raisa tersenyum melihatnya. Raisa sangat
menyukai senyuman di wajah lelaki yang berdiri di hadapannya.
“Sama siapa
kesini?” Lelaki itu memulai sesi percakapan dengan Raisa.
“Sendiri. Lo?”
“Sama. Udah
lama, ya?”
“Udah. Gue
pulang duluan, ya.” Raisa yang tidak bisa berlama-lama menatap lelaki yang
sungguh masih sangat di cintainya memilih untuk pergi sebelum airmatanya yang
berusaha ia bendung tumpah begitu saja di depan lelaki berbadan besar dan
berkulit putih yang memiliki bentuk tubuh nyaris sempurna bagaikan seorang
model—Sam—mantan kekasih Raisa.
Sam mengikuti
Raisa yang berjalan pergi ke arah parkiran mobil, sebelum Raisa masuk ke dalam
mobilnya, Sam menarik tangan Raisa dan cepat membawa Raisa menyentuh dadanya
yang bidang. Raisa tenggelam dalam dekapan tubuh Sam yang sangat di
rindukannya. Tanpa sadar, airmata yang tengah di bendung Raisa pun pecah begitu
saja ketika mereka saling berpeluk dalam dinginnya malam.
Akhirnya Raisa
mendorong tubuh Sam yang masih memeluknya dengan hangat, “Kenapa, sih, lo harus
balik lagi?! Lo nggak puas ngeliat gue sakit hati?! Belum cukup lo selingkuh
sama wanita jalang itu, Sam?!!” Raisa tidak bisa menahan amarah yang kini memenuhi
isi kepalanya. Raisa memukuli dada Sam dengan kepalan tangannya yang kecil dan
bagaikan tak bertenaga.
Sam tidak peduli
bagaimana Raisa berusaha memukulnya, ia kembali memeluk Raisa yang terus
memberontak dalam pelukannya hingga Raisa lelah dan menyerah. “Maafin gue, Ra.
Gue sadar, gue salah. Gue emang tolol banget pernah nyakitin lo. Gue mau kita
kayak dulu, Ra. Gue sayang lo.”
Raisa masih
terus menangis hingga membasahi permukaan baju yang di pakai Sam malam itu.
Hanya sedikit mengangguk tanpa berkata sepatah katapun. Raisa kembali memupuk
cintanya yang sempat di kuburnya dalam-dalam dengan segala bentuk kepahitan
yang pernah menyentuh kehidupan asmaranya bersama Sam. Kali ini, Raisa
benar-benar berharap bahwa Sam tidak akan pernah meninggalkanya lagi. Sendiri.
JJJ
created by : Ayuditha Aninda Putri
0 komentar:
Posting Komentar